oleh Erie Setiawan 
[Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku program konser Nawangsari | pagelaran peraih Hibah Seni Kelola kategori Karya Inovatif - 17 & 21 September 2012.]

Yang saya cukup paham, Gatot adalah orang yang tekun ngangsu kawruh, sinau, belajar mencari ilmu, ke manapun,tentang apa saja, terutama musik—Dan ia terampil sekali memilih élmu yang paling ia butuhkan demi menunjang karir dan Kehidupannya. Kehidupan (dengan awalan “K” besar) saya maknai secara filosofis sebagai “yang hidup”—bisa apa saja. Bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini (tidak hanya manusia, iblis, malaikat) bisa potensial karena juga memiliki “bibit nyawa”, yang selalu butuh “dihidupi” dengan rumus-rumus, kemajuan teknik, imajinasi dan akal budi tertentu supaya mampu terlihat “hidup” (lihat: bangunan, lukisan, taman kota, ukiran, patung, gerabah, komik, musik, dsb). Awalnya semua benda mati, tetapi karena kemampuan manusia “menghidupkannya”—semua yang mati akan menjadi hidup dan bernilai. Belum lama ini tokoh kartun Doraemon yang fenomenal itu disahkan menjadi warga kota Kawasaki, Jepang. Oleh Wali Kota-nya, Doraemon mendapat seritifikat kependudukan yang resmi. Doraemon seperti menjadi manusia sebagai kartun “yang hidup” di tengah masyarakat.

Ilmu yang ditekuni Gatot adalah demi Kehidupan itu sendiri. Gatot menghidupi musik dengan batin-rasa, pikiran dan imaji-nya, lalu mewujudkannya dengan sudut-sudut motorik biologisnya, dibantu para penafsir yang memainkan karyanya. Musik bagi Gatot jelas tidak hanya membantunya untuk bertahan hidup dalam kehidupan normalnya (makan, minum, tidur-bernafas) sampai malam ini, tetapi musik adalah “yang hidup” itu sendiri, sebuah eksistensi makro-dan-mikro (kosmos), representasi praktis atas logos dan sifat-sifat Illahiah yang tak henti-henti ditempanya. Gampangnya, Gatot akan mati jika dijauhkan dari musik, dan musik tidak akan bermakna apa-apa jika Gatot tidak ikut campur tangan.

Perjalanan atas kekaryaannya hingga malam ini bisa menjadi secuil bukti bahwa Gatot memikirkan (dan menjiwai) musik dengan sungguh-sungguh, meskipun cara Gatot membuat musik bisa sangat sederhana, intuitif, ngawur tapi terukur atau bahkan terkesan main-main seperti lelucon. Dengarlah karya solo pianonya berjudul “Pidato Munyuk-munyuk”—Anda akan dibuat—setidaknya—seperti berhadapan dengan dinamisnya hidup: ada kestabilan, chaos, hening, kejutan, dan sensasi emosional naik-turun. Judulnya yang parodik hanya untuk memudahkan kita mengingat karyanya, dan tidak ada alasan kontekstual yang mengada-ada dari setiap karya yang dibuatnya. Musiknya cenderung absolut, tidak menceritakan apa punkecuali keindahan musik itu sendiri.

Misteri 3T dan “Saat”

Saya kira di hampir semua karyanya, Gatot sangat peduli dengan apa yang dalam musik disebut “saat”—yaitu sebuah ruang dimana musik mampu “hidup” dalam periodisasi waktu (durasi tertentu)—karena memang itulah intinya musik. Sederhananya, jika lukisan butuh ruang berupa kanvas, musik butuh ruang berupa waktu-saat. “Saat” dikelola oleh Gatot dengan optimalisasi daya pikir dan imajinasinya mewujudkan “bunyi dan diam” dengan mengutamakan kekayaan dan pengayaan beribu kemungkinan akan timbre, tekstur, dan tensi (3T) dari medium (instrumen) yang berkemampuan menghasilkan bunyi secara luwes dan ber-aneka. Dari segi melodi, ritme, harmoni, struktur, saya kira standar. Tetapi tiga hal yang lebih dulu disebut adalah kekuatan orisinalitas Gatot yang membuat “saat” dalam musik menjadi begitu penting,dan karya-karya Gatot Insyaallah tidak membuat kita ngantuk atau bosan karena kelihaian dan kesabaran Gatot mengelola setiap detail dan kemungkinan material yang variatif. Akan terasa jika kita mendengarkan karyanya, ada grafik yang benar-benar diatur—kadang senyap kadang gaduh. Dan kadang-kadang lagi ada kejutan yang tak diduga sebelumnya. Kadang-kadang pula sepi, seperti tak berarti apa-apa.

Bagi Gatot, “saat” dalam musik ibarat kehidupan itu sendiri, yang misteri. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Baginya, “yang misteri” itulah yang membuat pendengar semakin penasaran dan tertarik. Dalam musik, tidak semua bagian menjadi penting. Menurut Gatot ada saat yang penting, menuju penting, sebelum penting, penting sekali, dan tidak penting sama sekali. Tantangannya ada pada pertanyaan: bagaimana mengelola itu semua. Seperti hidup kita, kalau terlalu terpola akan cepat membosankan. Kadang-kadang kita perlu kejutan dan bertemu dengan siklus-siklus yang tidak biasa kita lakukan, lari dari rutinitas. Dengan begitu, hidup tidak monoton dan dijamin akan lebih menarik.

Karya-karya terbarunya

Saya mencatat khusus, setidaknya dalam 4 tahun terakhir ini ia selalu menyertakan swarawati (penyebutannya untuk “vokal/penyanyi” perempuan) dan perkusi campuran untuk menunjang kelengkapan estetika musiknya —seperti dalam karya “Defeat and Victory” (2008), “Manisan”, “Kitab Batu” (2010), “Nawangsari” (2011), dan “Katalompen I dan II” (2011). Teksnya antara lain didasarkan atas puisi-puisi milik Sutan Takdir Alisjahbana, Sutardji Calzoum Bahri, Sindhunata, Amir Hamzah, Soebagyo Sastrowardoyo.

Gatot memilih penyanyi dan perkusi karena kedua medium tersebut baginya merupakan medium yang bisa menghasilkan warna suara yang kaya. Swarawati dan Perkusi merupakan dua medium paling favorit baginya. Sedangkan untuk penyertaan puisi pada karya-karya terbarunya, itu lebih dikarenakan pesanan. Hadirnya teks dalam musik-musik Gatot dimaknai sebagai peleburan antara kekuatan kata-kata (pemahaman/maknawi), dan bunyi-musik (gelombang). Ketika dua hal tersebut digabungkan ada sesuatu yang dahsyat. Perkara ini disebut musikalisasi puisi itu tak jadi soal bagi Gatot. Bisa kita dengar malam ini di antaranya: “Katalompen I dan II” yang menyukil puisi Amir Hamzah dan Soebagyo Sastrowardoyo.

Anda akan bertemu tumbuk’an timbre (warna suara) yang unik dan kaya dari karya-karya Gatot.

Syaratnya, mendengarkannya juga harus dengan penuh perhatian.

Hindari cap berupa stigma bahwa musiknya Gatot malam ini adalah musik kontemporer, yang sering dianggap rumit, njlimet dan susah dimengerti. Anggaplah musiknya sebagai musik saja, tanpa labelisasi/tendensi apapun. Dengarlah dengan cara merasakan aromanya pelan-pelan, lalu menikmati ketegangan dan saat-saat diamnya tanpa harus putus di tengah. Cukup mendengar dan merasakannya, tidak perlu dipikir—sampai karyanya benar-benar selesai. Jika suka, Anda boleh tepuk tangan. Jika tidak, diam pun tidak masalah.

Meskipun basic-nya seorang pemain gitar, Gatot cukup paham seluk-beluk organologi dan teknis instrumen lain. Sebagai komponis ia memperhatikan para instrumentalis yang memainkan karyanya. Gatot mempelajari teknis setiap instrumentasi yang mendukung karyanya, serta tidak ingin menyulitkan para instrumentalis pada tingkat yang “tidak masuk akal.” Dan itulah sewajarnya komponis. Dalam karyanya “Nawangsari” yang malam ini kita dengar, Gatot mengeksplorasi teknik-teknik dalam oboe dengan teliti, sehingga kita akan mendengar kemungkinan lain dari oboe yang berperan sebagai solis.

Gatot dikeranjangkan ke mana?

Sedikit menyinggung klasifikasi, karya-karya Gatot ini sebetulnya masuk ke “aliran” apa? Kontemporer, avant garde, modern, atau apa? Ternyata, Gatot sendiri tidak pernah merasa pentingnya “melabeli” dirinya dengan jalur/aliran khusus. Baginya, aliran sebagai klasifikasi akan mengurangi “ke-alamiah-an dan kebebasan” kreativitas. Dan, ia menjauhi yang namanya “pengkerdilan” yang bisa terjadi dikarenakan para komponis telah melabeli dirinya pada aliran tertentu, padahal daya nalar dan imajinasinya bisa lebih luas dari yang dikira (sempit!). Tentang hal ini Gatot menyampaikan kepada saya:

“Musik saya ini campur sari, sing dicampur sari-patine (yang dicampur inti-sarinya), bukan musik campur sari seperti Didi Kempot atau Cak Diqin. Komposisi-komposisi saya bisa dibilang garapan, seperti kolase namun tidak asal tempel. Saya melihat zaman ini sebagai puncak meletusnya simpul bentuk-bentuk seni. Ilustrasinya seperti mini-market. Pembeli bisa masuk dan memilih dengan bebas. Pendengar musik saya pun bisa mendengarkan beragam gaya dalam satu karya musik, dan memiliki multi-tafsir. Karya saya ini mungkin bukan lagi pemahaman struktur/atau bentuk (seperti lazim dalam musik pop yang jelas strukturnya, ed.), tetapi lebih kepada pengalaman akan keindahan bunyi.”

Sejak 2006 hingga sejauh ini, Gatot membuat karya dengan berbagai kategori, antara lain elektro-akustik, musik untuk tari/koreografi, musik kamar, solo instrumen, juga proyek kolaborasi dengan berbagai seniman. Secara periodisasi waktu-produktivitas, Gatot adalah komponis era 2000-an atau generasi sekarang.

Melalui beberapa karyanya tersebut Gatot berkesempatan mengikuti ajang lecture maupun festival musik di luar negeri, antara lain New Zealand (2008), Phillipina (2009) dan Malaysia (2010). November 2012 Gatot akan bertolak ke Belanda untuk mementaskan karya “Kitab Batu.” Selain aktif mementaskan karya dalam berbagai kegiatan komposisi musik, baik atas komisi maupun usaha mandiri, sejak 2000 hingga sekarang Gatot juga tergolong rajin mengikuti workshop dengan berbagai komponis manca-negara, seperti Carlos Michan, Prof. Wilfried Jentzsch, Kim Sanders, Geizer Mazzolla, Prof. Vincent McDermott, Jack Body, Roderik de Man, dan sebagainya. Pengalaman bergaul dan ilmunya yang luas membuatnya bertemu dengan “pintu-pintu” yang semakin memuluskan karir dan Kehidupannya.

Gatot yang orang Jawa Tengah-Magelang ini adalah komponis yang memegang teguh prinsip “Jiwa Kang Kajawi”—jiwa yang sudah mengandung/momot sifat ke-Jawa-an dengan segenap dimensi nalar-lakunya, dan itu harus dijaga sepanjang hidupnya sebagai komitmen. Pernah nyaris seperti masyarakat Samin tapi kalah oleh gempuran zaman modern. Sepanjang 10 tahunan saya bergaul dengannya, baik secara personal maupun keorganisasian, saya semakin mengerti, bahwa Gatot adalah sosok yang mempunyai cita-cita besar walaupun dengan segala keterbatasan yang ia miliki. Ia terus tekun “menghidupi” apa saja dan siapa saja yang sempat bertemu dan berbincang dengannya. Seorang yang ahli mendongeng dan mempunyai daya ingat yang bagus. Bagi saya, Gatot adalah juga seorang guru yang selalu mengajari setiap orang untuk mempertimbangkan segala sesuatu sebelum memutuskan. Dalam berkarya ia pandai memanajemeni, ngirit, pandai mengelola kondisi, tidak boros atau jor-joran.

Gatot otodidak, tidak pernah memiliki latar belakang formal di bidang ilmu komposisi musik. Gelar sarjananya adalah bidang Musikologi. Tetapi justru karena selama 6 tahun belajar musikologi, Gatot malah memiliki kemampuan analisa musik yang cukup baik, karena pelajaran musikologi adalah pelajaran “ilmu (bedah) musik” yang mengorek semua unsur musik dengan diikuti sejarah dan filsafatnya. Mengaku tidak punya guru secara formal, komposisi ia pelajari sendiri dengan metode-metode yang ia buat sendiri, seperti melatih pendengaran dengan mendengarkan banyak karya musik, membaca buku teknik-teknik komposisi, workshop, ber-imajinasi, membuat karya dan mementaskannya (ini sekaligus metode belajarnya). Soal kualitas pendengarannya, saya tidak meragukan. Gatot paling anti mendengar mp3 karena alasan clarity (beda dengan ABG dan industri musik sekarang!).

Hal berikut ini penting juga untuk dicatat, bahwa di samping ia melakoni dunia komposisi-penciptaan-kepengarangan musiksebagai komponis, Gatot adalah seorang sound engineer spesialis musik-musik akustik. Melalui “rekambergerak” (mobile recording) yang dibidaninya di Art Music Today, ia telah merampungkan ratusan proyek rekaman untuk keperluan dokumentasi dan sejarah, sekaligus sebagai ruang belajarnya mengenai ilmu suara. Untuk urusan perekaman akustik, Gatot secara khusus mendalami melalui uji langsung dan literatur ilmiah. Semua arsip rekaman hasil karyanya tersimpan rapi di Art Music Today dan Anda juga bisa mendengarkannya melalui situs: http://www.rekambergerak.synthasite.com.

Ngawur Tapi Terukur

Gatot tidak pernah menggunakan teknik-teknik komposisi yang ketat, seperti hukum tonal atau serial dalam karyanya, meskipun ia memahami teori-teorinya. Ia mengakui bahwa proses berkaryanya lebih cenderung “Ngawur Tapi Terukur.” Artinya, dua hal tersebut adalah kombinasi antara intuisi dan logika. Aspek intuisi adalah “kengawuran,” dimana keasyikan dan kebebasan akan terjadi, dan “terukur” adalah pembatasan dari “kengawuran”—kalau hanya ngawur dan tidak dibatasi semua akan bubar. Kalau hanya terukur dengan logika hasil karya akan jadi statis tidak luwes. Dua kombinasi tersebut adalah untuk menekan arogansi logika dan arogansi intuisi. Kalau dua hal yang kawin ini saya percaya sepenuhnya.

Bagi seniman, intuisi adalah logika itu sendiri, dan logika adalah intuisi itu sendiri. Ada sebuah term atau istilah yang dinamakan intuitionist logic atau logika ilham. Adalah bagian dari logika modern yang dikembangkan oleh ahli matematik Belanda Luitzen Egbertus Jan Brouwer dan Arend Heyting pada awal abad ke-20. Sebelumnya, filsuf Henri Bergson (1859-1941) juga sudah membahas ini dalam teorinya mengenai gabungan intuisi dan logika (penalaran diskursif). Begson bilang: Intuisi tetap merupakan suatu imajinasi yang dapat dipertanggung-jawabkan. Plato jauh lebih dulu menyatakan, bahwa kekuatan imajinasi jauh lebih besar daripada logika.

Perkara dua itu tak jadi inti malam ini. Tetapi yang jelas, malam ini adalah anugerah bagi Gatot yang seumur-umur baru sekali ketiban hibah untuk mementaskan karya-karyanya secara khusus. Proficiat!

Dan semoga ini bukan sebuah pencapaian atau prestasi dari sebuah “karir dan Kehidupan” yang kadang-kadang sering mengecoh dan membuat kita kèblingèr…

Yogyakarta, 4 Agustus 2012 | Erie Setiawan-Musikolog

www.artmusictoday.com | www.sekolahmusikindonesia.co.id | www.studiomahati.com